Beranda | Artikel
Haram Berbuat Zhalim
Rabu, 17 Juli 2019

HARAM BERBUAT ZHALIM (2)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِـيْ  ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَـا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : «يَا عِبَادِيْ ! إِنِّـيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَـى نَفْسِيْ ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَـكُمْ مُحَرَّمًا ؛ فَلاَ تَظَالَـمُوْا. يَا عِبَادِيْ ! كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ  هَدَيْتُهُ ؛ فَاسْتَهْدُوْنِـيْ أَهْدِكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ ؛ فَاسْتَطْعِمُوْنِـيْ أُطْعِمْكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ ؛ فَاسْتَكْسُوْنِـيْ أَكْسُكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! إِنَّكُمْ تُـخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَـمِيْعًا ؛ فَاسْتَغْفِرُوْنِـيْ أَغْفِرْ لَكُمْ. يَا عِبَادِيْ ! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِـيْ ، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِـيْ. يَا عِبَادِيْ ! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَـى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ ؛ مَا زَادَ ذَلِكَ فِـيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَا عِبَادِيْ ! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَـى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ ؛ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا.  يَا عِبَادِيْ ! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوْا فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِـيْ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَـتَهُ ؛ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِـمَّـا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَـا يَنْقُصُ الْـمِخْيَطُ إِذَا  أُدْخِلَ الْبَحْرَ. يَا عِبَادِيْ ! إِنَّـمَـا هِيَ أَعْمَـالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا ، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا ؛ فَلْيَحْمَدِ اللهَ ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ ؛ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

Dari Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan firman Allah Azza wa Jalla , “Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian. Maka, janganlah kalian saling menzhalimi. Wahai hamba-Ku! Setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan. Maka, mintalah makanan kepada-Ku niscaya Aku beri kalian makan. Wahai hamba-Ku! Setiap kalian adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian. Maka, mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan berikan pakaian kepada kalian. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di waktu malam dan siang hari; sedang Aku mengampuni seluruh dosa. Maka, mohon ampunlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian dapat membahayakan-Ku dan kalian tidak akan dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga kalian dapat memberi manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian, hati mereka semuanya seperti salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka semuanya itu tidak akan menambah sedikit pun pada kerajaan-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian, semua seperti hati salah seorang dari kalian  yang paling jahat, maka semuanya itu tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku. Wahai  hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua berada di satu tanah lapang kemudian setiap dari kalian meminta kepada-Ku lalu Aku memberikan permintaannya itu, maka hal itu tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali seperti jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian; kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian. Barangsiapa mendapatkan kebaikan,  hendaklah ia memuji Allah Azza wa Jalla , dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali  kepada dirinya sendiri.”

8. Kerajaan Allah Azza wa Jalla tidak akan bertambah dengan ketaatan hamba-Nya dan tidak akan berkurang dengan perbuatan maksiat hamba-Nya.
Firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling jahat, maka itu semua sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Ku.”

Firman Allah Azza wa Jalla di atas adalah isyarat bahwa kerajaan Allah Azza wa Jalla tidak bertambah dengan ketaatan makhluk, kendati mereka semua orang baik-baik dan bertakwa dan hati mereka seperti hati orang  yang paling bertakwa di antara mereka. Firman Allah Azza wa Jalla di atas juga sebagai dalil bahwa kerajaan Allah Azza wa Jalla tidak berkurang dengan kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, kendati jin dan seluruh manusia bermaksiat dan menjadi orang-orang jahat, serta hati mereka seperti hati orang  yang paling jahat di antara mereka; karena Allah Azza wa Jalla Maha kaya (tidak membutuhkan) dengan dzat-Nya siapa saja selain diri-Nya dan mempunyai kesempurnaan mutlak pada Dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Jadi, kerajaan Allah Azza wa Jalla adalah kerajaan yang sempurna dan tidak berkurang karena suatu apa pun.[1]

Hadits ini menyatakan bahwa seandainya seluruh makhluk-Nya berada dalam sifat kebaikan dan takwa hamba-Nya yang paling sempurna, maka itu sedikit pun tidak menambah kerajaan-Nya. Dan seandainya mereka berada dalam sifat kejahatan hamba-Nya yang paling jahat, maka itu sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Nya. Ini menunjukkan  bahwa kerajaan Allah Azza wa Jalla itu sempurna dan kondisi apa pun; tidak bertambah atau sempurna dengan ketaatan-ketaatan, tidak  berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa mempengaruhi  kekuasaan Allah Azza wa Jalla.

Di sini terdapat dalil bahwa pokok takwa dan kejahatan adalah hati. Jika  hati telah baik dan bertakwa, maka seluruh organ tubuh menjadi baik. Sebaliknya, jika hati jahat, maka seluruh organ tubuh menjadi jahat,[2] seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اَلتَّقْوَى هَاهُنَا

Takwa itu di sini

Dan beliau berisyarat ke dadanya.[3]

9. Perbendaharaan Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah habis
Firman Allah Azza wa Jalla: Wahai  hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua berada di tempat yang sama kemudian setiap dari kalian meminta kepada-Ku lalu Aku memberikan permintaannya itu, maka hal itu tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali seperti jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya.”

Yang dimaksud dengan firman tersebut ialah ungkapan kesempurnaan kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan kerajaan-Nya. Kerajaan dan perbendaharaan Allah tidak pernah habis dan tidak berkurang dengan pemberian, kendati Dia memberikan seluruh permintaan jin dan manusia generasi pertama hingga generasi terakhir di satu tempat. Di sini terdapat  himbauan bagi manusia agar mereka meminta dan mengajukan permohonan dan kebutuhannya kepada Allah Azza wa Jalla.[4]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«يَدُ اللهِ مَلأَ َى ، لاَ تَغِيْضُهَا نَفَقَةٌ سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ» قَالَ : «أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُنْذُ خَلَقَ السَّمَاءَ وَاْلأَرْضَ ،  فَإِنَّهُ لَـمْ يَغِضْ مَا فِـيْ يَدِهِ…»

Tangan Allah Azza wa Jalla penuh dan tidak berkurang oleh infak dan banyak memberi pada malam dan siang hari. Tahukah kalian apa yang telah Dia infakkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya itu semua tidak mengurangi apa  yang ada di tangan-Nya.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ : اللَّـهُمَّ اغْفِرْ لِـيْ  إِنْ شِئْتَ ، وَلَكِنْ لِيَعْزِمِ الْـمَسْأَلَةَ  ، وَلْيُعَظِّمِ الرَّغْبَةَ ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ

Jika salah seorang dari kalian berdoa, janganlah ia berkata, ‘Ya Allah Azza wa Jalla, ampunilah aku jika Engkau berkehendak,’ namun hendaklah ia serius dalam meminta dan memperbesar keinginan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah dimintai dengan serius dan sungguh-sungguh melainkan Dia memberinya.”[6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

 إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمْ فِـي الدُّعَاءِ. وَلاَ يَقُلِ : اللَّـهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِـيْ ، فَإِنَّ اللهَ لاَ مُسْتَـكْرِهَ لَهُ

 Apabila salah seorang dari kalian berdoa maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, janganlah ia mengatakan, ‘Ya Allah Azza wa Jalla, jika Engkau berkehendak, berikanlah kepadaku,’ Karena tidak ada  yang memaksa Allah [7]

Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata, “Jika kalian berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, tinggikan permintaan kalian,  karena apa yang ada di sisi-Nya tidak bisa dikurangi oleh sesuatu apa pun.”

Apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla tidak berkurang sedikit pun, seperti firman Allah Azza wa Jalla:

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jallaadalah kekal…” [an-Nahl/16:96]

Jika satu jarum dimasukkan ke laut kemudian di angkat, maka sedikit pun air laut tidak berkurang. Begitu juga, jika burung pipit minum di laut, maka laut sedikit pun tidak berkurang. Oleh karena itu, Nabi Khidir  Alaihissallam membuat perumpamaan seperti itu untuk Nabi Musa Alaihissaallam tentang ilmu keduanya jika dibandingkan dengan ilmu Allah Azza wa Jalla.[8] Hal itu karena air laut selalu dipasok oleh seluruh air dunia dan sungai-sungainya  yang mengalir. Jadi, meskipun diambil, maka tidak ada yang berkurang padanya, karena pasokannya lebih banyak daripada air yang diambil. Begitu juga makanan surga dan apa saja yang ada di dalamnya, maka tidak habis, seperti firman Allah Azza wa Jalla:

وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ ﴿٣٢﴾ لَا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ

Dan buah-buahan yang banyak. Yang tidak  berhenti berbuah dan tidak terlarang mengambilnya. [al-Wâqi’âh/56:32-33]

Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pada khutbah shalat Gerhana:

وَرَأَيْتُ الْـجَنَّةَ ، فَتَنَاوَلْتُ مِنْهَا عُنْقُوْدًا ، وَلَوْ أَخَذْتُهُ  َلأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتِ الدُّنْيَا

Dan aku melihat surga kemudian aku memegang setandan daripadanya. Jika aku mengambilnya, kalian bisa memakannya selama dunia masih ada.[9]

10. Amal-amal hamba semuanya tertulis di sisi Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla: Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian kemudian Aku menyempurnakannya.”

Maksudnya, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya kemudian menyempurnakan pahala-Nya. Maka barangsiapa yang beriman dan beramal shalih maka ia mendapatkan ganjaran yang baik dan barangsiapa yang kafir dan durhaka maka ia mendapatkan akibat yang buruk.[10] Firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi ini seperti firman Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur`ân:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ﴿٧﴾وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Maka barangsiapa mengerjakan kebajikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” [az-Zalzalah/99:7-8]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

…Dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menzalimi seorang pun.” [al-Kahfi/18:49]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا

(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa menadapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak  yang jauh antara dia dengan (hari) itu…” [Ali ‘Imrân/3:30]

Dan firman Allah Azza wa Jalla:

يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ 

Pada hari itu mereka semua dibangkitkan oleh Allah Azza wa Jalla, lalu diberitakannya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah Azza wa Jalla menghitungnya (amal perbuatan itu), meskipun mereka melupakannya…” [al-Mujâdilah/58:6]

Firman Allah Azza wa Jalla: Kemudian Aku menyempurnakannya.”

Secara zhahirnya, yang dimaksud firman tersebut ialah penyempurnaan pahala di akhirat, seperti firman Allah Azza wa Jalla:

وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

…Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu…” [Ali ‘Imrân/3:185]

Atau bisa jadi yang dimaksudkan adalah Allah Azza wa Jalla menyempurnakan pahala amal-amal hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ

…Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu…” [an-Nisâ’/4:123]

Karena diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menafsirkan yang demikian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa kaum Mukminin diberikan balasan atas kesalahan-kesalahan mereka di dunia dan kebaikan-kebaikan mereka disimpan di akhirat, kemudian pahala-pahala kebaikan tersebut disempurnakan. Sedang orang kafir, pahala kebaikan-kebaikannya disegerakan di dunia dan kesalahan-kesalahannya disimpan di akhirat; kemudian ia disiksa karenanya di akhirat. Penyempurnaan perbuatan ialah penyempurnaan balasan; baik atau buruk. Keburukan dibalas dengan keburukan yang sama tanpa ditambahi; kecuali jika Allah Azza wa Jalla memaafkannya. Sedang kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus lipat atau hingga beberapa kali lipat yang hanya diketahui Allah Azza wa Jallasaja.[11]

11. Memuji Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat dan karunia-Nya
Firman Allah Azza wa Jalla: Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah Azza wa Jalla, dan barangsiapa mendapatkan selain itu maka janganlah ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali kepada dirinya sendiri.”

Ini merupakan isyarat bahwa seluruh kebaikan itu dari Allah Azza wa Jalla sebagai karunia dari-Nya untuk hamba-Nya, sedang seluruh keburukan berasal dari manusia karena hawa nafsu mereka,[12] seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Kebaikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah Azza wa Jalla, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri…” [an-Nisâ’/4:79]

Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak memberikan bimbingan kepada hamba-Nya, Dia membantunya, membimbingnya untuk taat kepada-Nya, dan itu karunia dari-Nya. Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak menelantarkan hamba-Nya, Dia menyerahkannya kepada dirinya sendiri, dan meninggalkannya. Kemudian ia ditipu setan karena kelalaiannya untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, lalu ia mengikuti hawa nafsunya, melewati batas; dan itu keadilan dari-Nya. Karena sesungguhnya hujjah tetap ada pada seorang hamba dengan diturunkannya al-Qur`ân dan diutusnya seorang rasul. Jadi, siapa pun dari manusia tidak mempunyai hujjah lagi pada Allah Azza wa Jalla setelah pengutusan para rasul.[13]

Jika  maksud hadits di atas ialah bahwa barangsiapa mendapatkan kebaikan di dunia, ia diperintahkan memuji Allah Azza wa Jalla atas apa yang ia dapatkan, yaitu pahala-pahala perbuatannya yang shalih yang disegerakan kepadanya di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [an-Nahl/16:97]

Ia juga diperintahkan menyalahkan dirinya atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya karena dosa-dosa tersebut dipercepat akibatnya di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:

وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَىٰ دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [as-Sajdah/32:21]

Jadi, jika seorang Mukmin mendapatkan musibah di dunia, ia kembali kepada dirinya dengan menyalahkannya dan mengajaknya kembali kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan bertaubat dan beristighfar kepada-Nya.

Namun, jika yang dimaksudkan firman Allah Azza wa Jalla di hadits tersebut ialah orang yang mendapati kebaikan dan keburukan di akhirat, maka itu penjelasan dari Allah Azza wa Jalla bahwa orang-orang yang mendapatkan kebaikan di akhirat itu memuji Allah Azza wa Jalla karena hal tersebut; dan orang-orang yang mendapatkan keburukan itu mengecam diri mereka sendiri pada saat kecaman tidak bermanfaat bagi mereka. Jadi, ungkapan tersebut adalah ungkapan perintah namun maknanya  pemberian informasi, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ؛ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka (Muttafaqun alihi)

Maksudnya, pendusta itu sedang menyiapkan tempat duduknya di neraka.

Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang penghuni surga bahwa mereka memuji Allah Azza wa Jalla atas karunia-Nya yang diberikan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ ۖ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ 

Dan Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sunga-sungai. Mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah Azza wa Jalla tidak menunjukkan kami…” [al-A’râf/7:43]

Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa penghuni neraka mengecam diri mereka sendiri dan sangat membencinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ ۖ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي ۖ فَلَا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh karena itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri…” [Ibrâhîm/14:22]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنَادَوْنَ لَمَقْتُ اللَّهِ أَكْبَرُ مِنْ مَقْتِكُمْ أَنْفُسَكُمْ إِذْ تُدْعَوْنَ إِلَى الْإِيمَانِ فَتَكْفُرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada mereka (pada hari Kiamat) diserukan, ‘Sungguh, kebencian Allah (kepadamu) jauh lebih besar daripada kebencianmu terhadap dirimu sendiri, ketika kamu diseru untuk beriman lalu kamu mengingkarinya.’” [al-Mu’min/40:10]

Para Ulama Salaf sangat bersungguh-sungguh dalam beramal shalih karena khawatir mencerca dirinya sendiri pada saat amal perbuatan terputus karena ia dulu lalai.

‘Amir bin ‘Abdu Qais berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla, aku pasti bersungguh-sungguh. Demi Allah Azza wa Jalla, aku pasti bersungguh-sungguh. Jika aku selamat, itu karena rahmat Allah Azza wa Jalla. Jika tidak, aku tidak menyalahkan diriku.”

Ziyad bin ‘Ayyasy berkata kepada Ibnul Munkadir dan Shafwan bin Sulaiman, “Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Jika segala sesuatu seperti yang kita harapkan, maka apa yang telah kalian berdua kerjakan adalah karunia. Jika tidak, kalian berdua tidak perlu menyalahkan diri kalian berdua.”[14]

FAWA-ID HADITS

  1. Periwayatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya Azza wa Jalla adalah tingkatan sanad yang paling tinggi, karena tingkatan akhir dari sanad ialah Allah Azza wa Jalla pada hadits Qudsi, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang marfu’.
  2. Pengertian hadits Qudsi yang paling bagus ialah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya Azza wa Jalla.
  3. Menetapkan bahwa Allah Azza wa Jalla itu berbicara dengan suara sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Qur`ân, As-Sunnah, dan ijmâ Salafush Shalih.
  4. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mampu berbuat zhalim akan tetapi Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas diri-Nya karena kesempurnaan keadilan-Nya.
  5. Di antara sifat yang dinafikan dari Allah Azza wa Jalla adalah zhalim, akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak ada satu sifat pun yang dinafikan dari Allah Azza wa Jalla melainkan lawan dari sifat itu yang ditetapkan. Maka menafikan sifat zhalim berarti menetapkan sifat adil yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun.
  6. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berhak mengharamkan apa saja untuk diri-Nya karena hukum itu sepenuhnya milik-Nya.
  7. Yang dimaksud dengan nafsi (diri-Ku) dalam hadits ini ialah adalah dzat Allah Azza wa Jalla.
  8. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan berbuat zhalim di antara manusia.
  9. Sesungguhnya semua manusia itu sesat kecuali orang yang diberikan hidayah oleh Allah Azza wa Jalla, dari kaidah ini dapat diambil pelajaran bahwa kita diperintahkan untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allah Azza wa Jalla supaya kita tidak sesat dan tidak menyimpang.
  10. Anjuran untuk menuntut ilmu syar’i berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi, “Setiap kalian adalah sesat.” Tidak diragukan bahwa menuntut ilmu adalah wajib dan sebaik-baik amal; apalagi pada zaman kita sekarang ini di mana kebodohan dan prasangka telah menyebar, serta orang yang tidak berhak berfatwa sudah berani berfatwa; maka menuntut ilmu pada zaman ini sangat ditekankan sekali.
  11. Hadits ini menunjukkan wajibnya memohon dan meminta kepada Allah Azza wa Jalla semua kebutuhan yang bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia karena semua kebaikan itu ada di sisi Allah Azza wa Jalla.
  12. Hidayah itu hanya boleh diminta dari Allah Azza wa Jalla saja berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, Hidayah yang dimaksud adalah hidayah taufîk dan hidayah bayân.
  13. Seorang Muslim wajib senantiasa memohon hidayah taufîk kepada Allah Azza wa Jalla karena banyak manusia sangat membutuhkan hidayah dalam seluruh kehidupannya.
  14. Sesungguhnya seluruh manusia pada asalnya adalah dalam keadaan lapar karena tidak mampu menciptakan sesuatu pun yang dapat menghidupkan jasad-jasad mereka; kemudian Allah Azza wa Jalla memberikan rezeki kepada mereka.
  15. Firman Allah, “Maka mintalah makanan kepadaku,” ini mencakup permintaan makanan kepada Allah Azza wa Jalla dan mencakup juga meminta usaha dalam mencari rizki dan karunia Allah Azza wa Jalla, karena sudah diketahui bahwa langit itu tidak menurunkan emas maupun perak, maka wajib ada usaha untuk memperoleh rizki.
  16. Manusia pada asalnya adalah telanjang hingga Allah Azza wa Jalla memberikannya pakaian dengan berbagai sebab yang ada.
  17. Tentang kedermawanan Allah Azza wa Jalla. Dia Azza wa Jalla menjelaskan kepada hamba-Nya keadaan mereka dan sangat butuhnya mereka kepada-Nya; kemudian Dia mengajak mereka untuk berdo’a kepada-Nya, sehingga hilanglah kefakiran dan kesulitan yang ada pada mereka.
  18. Bahwa seluruh anak Adam adalah banyak berbuat salah dan dosa.
  19. Wajib atas anak Adam untuk selalu bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan memenuhi syarat-syarat taubat.
  20. Bahwa sebanyak apa pun dosa dan kesalahan manusia, Allah Azza wa Jalla tetap akan mengampuninya; tetapi mereka wajib istighfâr (minta ampun kepada Allah Azza wa Jalla).
  21. Bahwa Allah Azza wa Jalla mengampuni seluruh dosa orang yang beristighfâr berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, “Maka minta ampunlah kepada-Ku.” Adapun orang yang tidak meminta ampun, maka dosa-dosa kecil dapat dihapuskan dengan amal shalih, sedang dosa-dosa besar harus dengan taubat secara khusus dan tidak bisa dihapus dengan amal-amal shalih. Sedangkan kekufuran maka ia harus dengan taubat berdasarkan ijma’
  22. Kesempurnaan kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan tidak butuhnya Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-hamba-Nya berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian dapat membahayakan-Ku dan kalian tidak akan dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga kalian dapat memberi manfaat kepada-Ku.”
  23. Hadits ini menunjukkan pentingnya kedudukan hati karena pokok dari ketakwaan dan perbuatan fasik adalah hati. Apabila hati istiqâmah maka seluruh anggota badan ikut dan apabila hati berbuat fasik maka rusaklah seluruh anggota badan.
  24. Hadits ini mengisyaratkan bahwa semua kebaikan dan keutamaan itu berada di tangan Allah Azza wa Jalla; yang dengannya Dia memberikan keutamaan itu kepada hamba-hamba-Nya sedangkan kejelekan dan kejahatan itu berasal dari diri mereka sendiri.
  25. Kesempurnaan kekayaan dan keluasan kekayaan Allah Azza wa Jalla berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, “Wahai hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua berada di tempat yang sama…” ini menunjukkan luasnya kekayaan Allah Azza wa Jalla dan luasnya karunia dan kedermawanan-Nya.
  26. Bahwa Allah Azza wa Jalla menghitung seluruh amalan hamba-Nya dan tidak ada sedikit pun yang terluput.
  27. Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak pernah menzhalimi seorang hamba sedikit pun, bahkan siapa yang mengerjakan suatu amalan maka dia pasti akan mendapati balasannya berdasarkan firman-Nya, “Kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian.”
  28. Wajibnya memuji Allah Azza wa Jalla bagi orang yang mendapatkan kebaikan. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi : pertama, bahwa Allah Azza wa Jalla telah memudahkannya melakukan perbuatan baik tersebut dan yang kedua, bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan ganjaran pahala atas perbuatan baiknya tersebut.
  29. Barangsiapa yang malas dan lalai dalam mengerjakan amal-amal sehingga dengan sebab itu ia tidak mendapatkan kebaikan di akhirat; maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.
  30. Hadits ini juga mengisyaratkan diperintahkannya introspeksi diri dan menyesal dari perbuatan dosa dan maksiat.

MARAJI’

  1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
  2. Shahîhul-Bukhâ
  3. Shahîh Muslim
  4. Musnad Imam Ahmad
  5. Sunan Abu Dawud
  6. Sunan at-Tirmidzi
  7. Sunan an-Nasâ`i
  8. Sunan Ibnu Mâjah
  9. Al-Adabul Mufrad
  10. Musnad Abu Ya’la al-Mû
  11. Mustadrak al-Hâ
  12. Syarah Shahîh Muslim lin Nawâ
  13. Riyâdhush Shâlihîn, karya Imam an-Nawâ
  14. Kitâbul Iman li Ibni Mandah.
  15. Al-Asmâ’ wash Shifât, karya Imam al-Baihaqi
  16. Shahîh al-Wâbilish Shayyib, karya Imam Ibnul Qayyim.
  17. Kasyful Ghithâ’ ’an Hukmi Simâ’il Ghinâ, karya Imam Ibnul Qayyim.
  18. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâ
  19. Shahîh al-Adabil Mufrad, karya Syaikh al-Albâ
  20. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthâ
  21. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  22. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimî

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/46-47).
[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/47).
[3] Shahîh: HR. Muslim (no. 2564), Ahmad (II/277), dan at-Tirmidzi (no. 1927) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[4] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/47-48).
[5] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 4684), Muslim (no. 993),at-Tirmidzi (no. 3045) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[6] Shahîh: HR. Muslim (no. 2679) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 6338) dan Muslim (no. 2678) dari Anas bin Mâlik rahimahullah.
[8] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 122, 3401, 4725, 4727), Muslim (no. 2380), at-Tirmidzi (no. 3149), Ibnu Hibbân (no. 6187 at-Ta’lîqâtul Hisân).
[9] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 1052), Muslim (no. 907), Ahmad (I/298), Ibnu Hibbân (no. 2821 at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ibnu ‘Abbâs z .
[10] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/51) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 219).
[11] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/52)
[12] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/52)
[13] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/52).
[14] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/53-55) dengan diringkas.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12230-haram-berbuat-zhalim-3.html